Kamis, 01 Mei 2014

BUKALAH MATA HATIMU



bismillahirrahmanirrahim

Aku sebelumnya tak pernah menemukan bacaan yang luar biasa mengusikku selain surah al-baqarah ayat 30-39 ini. Aku tak pernah bisa berhenti memikirkan ayat-ayat tersebut. Aku merenungkan mereka siang dan malam, saat makan, pergi dan pulang kerja, duduk sendiri, menonton televisi atau berbaring di tempat tidur. Aku senantiasa menimbang-nimbang mereka, merangkai mereka seperti menyusun banyak pertanyaan menjadi sebuah teka-teki besar. Mereka menjadi batu ujian sebelum aku membaca ayat-ayat alqur’an selanjutnya. Setiap kali aku menemui ayat yang tampak berkaitan dengan perihal tujuan hidup, aku akan membandingkannya dengan ide-ide dalam kisah penciptaan Adam dan Hawa. Aku secara perlahan-lahan merasa sedang mengungkap sebagian banyak pertanyaan yang campur aduk sehingga seolah-olah isi alqur’an sengaja ditulis untukku, tetapi aku tak dapat menyulam semua itu menjadi sebuah penjelasan yang masuk akal tentang keberadaan manusia di dunia ini.

Segeralah tampak jelas di mataku bahwa alqur’an mempunyai agenda lain bahwa kitab suci ini mengandung sebuah pesan dan padangan yang sama sekali berbeda. Alih-alih menuturkan kembali kisah tradisionalnya. Alqur’an justru menjawab pertanyaan para malaikat dengan pertama-tama memperlihatkan kemampuan akal manusia, pilihan moral dan akhirnya bimbingan ilahi.

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama (benda-benda), kemudian memperlihatkannya kepada para malaikat, dan Dia berfirman : “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar” ( QS. 2 : 31).

Aku terpesona dengan cara kitab suci alqur’an mewadahi banyak makna hanya dengan beberapa patah kata. Coba perhatikan bahwa adam tidak sekedar menyebut nama benda-benda  di sekitarnya, tetapi Tuhan mengajarinya, yang berarti hal ini menegaskan kemampuan manusia untuk belajar, yakni kecerdasannya. Perlihatkan pula apa yang Adam pelajari. Dia mempunyai kemampuan untuk menyebutkan simbol-simbol verbal segala sesuatu yang diketahuinya, seluruh pikiran, pengalaman dan perasaannya. Di antara semua karunia intelektual manusia, kemampuan bahasa manusia-lah yang paling ditekankan alqur’an. Jelaslah ini dikarenakan kemampuan bahasa adalah piranti intelektual amat canggih yang membedakan manusia dari semua makhluk hidup lainnya di bumi. Dengan kemampuan bahasa ini, lebih daripada kemampuan lain, manusia tumbuh, berkembang dan belajar secara individual ataupun kolektif, sebab kemampuan bahasa menjadi alat untuk belajar dan mengajari orang lain yang tidak sempat bertatap muka (komunikasi langsung) dengan kita (lewat tulisan), termasuk orang-orang yang secara ruang dan waktu sangat jauh dengan kita. Artinya seluruh manusia dikaruniai dengan sebuah “sifat kumulatif” yang amat maju.

Selanjutnya, Allah meletakkan benda-benda yang nama-nama mereka disebut oleh Adam di depan para malaikat, dan berfirman, “sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu memang benar”. Ini secara gamblang memperlihatkan bahwa akal manusia merupakan argumen yang sangat penting mewakili jawaban Tuhan atas pertanyaan para malaikat. Malaikat-malaikat bertanya mengapa Tuhan hendak menciptakan makhluk yang kasar dan jahat dengan asumsi bahwa mereka lebih unggul, sebab mereka tunduk sepenuhnya pada kehendak Tuhan, memuji dan menyucikanNya. Alqur’an rupanya hendak menyatakan dalam ayat ini dan ayat-ayat berikutnya bahwa ada sifat-sifat lain, misalkan akal, yang membuat manusia setidaknya berpotensi lebih mulia daripada malaikat di hadapan Tuhan.

Mereka berkata: “Mahasuci Engkau, tak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana” (QS 2 : 32).

Malaikat-malaikat mengakui ketidakmampuan mereka untuk menjawab tantangan Allah. Mereka tidak memiliki kelebihan akal untuk menciptakan simbol dan konsep bagi apa yang mereka alami. Mereka mengatakan bahwa untuk menciptakan semua itu dibutuhkan pengetahuan dan kearifan yang berada di luar batas kesanggupan mereka. Mereka tahu Allah dapat dengan mudah melakukan semua ini sebab Dia “ Maha mengetahui lagi Mahabijaksana, tetapi para malaikat tidak mempunyai kecakapan tersebut.

Allah berfirman : Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka setelah diberitahukan kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (QS 2: 33).

Adam mampu menunjukkan keunggulan akalnya, yang tidak dimiliki oleh para malaikat. Meskipun Adam tidak mempunyai kearifan dan pengetahuan sebagaimana yang dimiliki Tuhan, dia dikaruniai lebih banyak kelebihan daripada malaikat. Pertanyaan kepada para malaikat tidak berhenti sampai disini, tetapi berlanjut : “Dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”
Apa yang para malaikat sembunyikan? Aku bertanya. Apa yang mereka lahirkan telah jelas. Mereka keberatan dengan sifat destruktif dan jahat manusia, tetapi apa yang mereka sembunyikan?. Aku tahu para malaikat keberatan karena hanya memerhatikan satu sifat manusia, yaitu kemampuannya untuk membuat kerusakan dan kesalahan. Akan tetapi, mereka tidak mengetahui, sebagaimana diriku, sifat lainnya. Sesungguhnya, sebagian manusia dapat berbuat amat jahat, tetapi sebagian lainnya dapat berbuat luar biasa baik. Sebagian diantara kita dapat berbuat sangat destruktif, tetapi sebagian lainnya bisa memperlihatkan keramahan dan kebaikan tiada terkira, dan kita semua tahu contoh-contoh penting dari dua kecendrungan itu, acapkali, kecendrungan-kecendrungan tersebut muncul di atas satu panggung drama kehidupan manusia yang sama, karena kemunculan kecendrungan yang satu menimbulkan kecendrungan lainnya. Agaknya, kebaikan mengundang sebagian orang untuk berbuat jahat dan kejahatan mengundang sebagian lainnya untuk berbuat baik. Maka kita dapat melihat kebaikan dan kejahatan tumbuh dari lingkungan dan tempat yang sama, bahkan kadang-kadang hidup berdampingan di sebuah negara, kota atau desa.

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : “Sujudlah kamu kepada Adam”, mereka pun sujud kecuali iblis, ia menolak dan menyombongkan diri dan ia termasuk golongan yang tidak beriman. (QS 2 : 34).

Apabila semula aku meragukan  kata-kata alquran bahwa manusia berpeluang menjadi lebih mulia daripada para malaikat. Ayat tersebut di atas telah menyingkirkan keraguan itu. Ketika Adam mampu memperlihatkan kemampuan akalnya, dan para malaikat tidak mampu, Tuhan berfirman pada mereka, “Sujudlah kamu kepada Adam”. Mereka pun sujud dan mengakui kelebihan Adam. Sujud merupakan simbol ketundukan , dan Alquran menunjukkan bahwa para malaikat kelak di kemudian hari akan melayani manusia di bumi. Akan tetapi iblis atau setan menolak untuk sujud dan berangkat dari penolakan iblis atau setan ini. Alquran mengisahkan awal-mula timbulnya dosa. Menurut alquran , akar timbulnya dosa bukanlah uang, sifat rakus, atau nafsu birahi, tetapi kesombongan. Dengan demikian alquran memperkenalkan satu aktor penting lain dalam drama kehidupan manusia , dan melengkapi jawaban atas pertanyaan awal para malaikat tetapi mengapa? Apa peran setan? Mengapa Tuhan menciptakan makhluk yang hanya memiliki sebuah agenda yakni memalingkan manusia dari kebaikan? Hampir semua agama menyatakan bahwa setan berperan sebagai penggoda, pembujuk bathin yang membisikkan dorongan-dorongan jahat ke dalam hati kita. Jika malaikat berperan sebagai sumber dorongan kebaikan, setan mendesak kita untuk berbuat dosa. Kita memandang keduanya sebagai suara-suara yang saling bertolak belakang dalam hati kita tatkala menghadapi sebuah dilema moral.

Benarkah demikian? Aku bertanya. Benarkah alquran menyatakan bahwa selain memberi kita akal, Tuhan juga menjadikan kita makhluk yang bermoral, yang mengerti benar dan salah? Betulkah alquran menerangkan bahwa Tuhan menciptakan dorongan malaikat dan godaan setan untuk menyempurnakan kesadaran moral kita? Benarkah alquran menggarisbawahi fakta bahwa kita adalah makhluk yang dapat dan harus menentukan pilihan-pilihan moral? Meskipun belum menangkap tujuan logis ayat ini, aku juga tidak melihat pertentangan antara satu ayat dengan ayat lain.

Alquran kemudian menjelaskan bahwa setan menggoda pasangan Adam dan Hawa dengan mengatakan bahwa jika memakan buah tersebut (lebih lengkapnya di QS 2 : 35), “mereka akan meraih kehidupan abadi dan kerajaan yang tidak akan pernah binasa”. Tetapi perkataan lancung ini seluruhnya berasal dari setan. Tidak ada isyarat bahwa Tuhan merasa khawatir kalau-kalau pasangan itu akan mengingkari-Nya. Dia sekedar memberitahu bahwa andaikata mereka memakannya, berarti mereka telah melakukan dosa.
Kita pun tidak tahu apakah itu merupakan larangan pertama Tuhan kepada Adam dan Hawa. Alquran tidak menyebutkannya. Mungkin saja ada larangan-larangan lain yang sebelumnya telah Tuhan sampaikan. Kita hanya tahu bahwa larangan ini merupakan yang pertama-tama mereka langgar. Aku bertanya-tanya apakah peristiwa ini menyiratkan sebuah makna yang amat penting, bahwa itulah pilihan bebas pertama Adam dan Hawa, itulah kali pertama mereka memilih selain apa yang diperintahkan Tuhan.

Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula, dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain dan di bumilah tempat tinggalmu dengan segala kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (QS 2: 36).

Aku merasa bahwa pemilihan kata digelincirkan untuk menyebut dosa mereka sepenuhnya tepat. Hal ini juga akan menjelaskan ketenangan penulis Alquran dalam menyampaikan pesan itu. Alih-alih penulisnya mengatakan pada pasangan Adam dan Hawa bahwa mereka akan sangat menderita di bumi, mereka sekedar diberitahu bahwa “ di bumilah tempat tinggalmu dengan segala kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan” ini bukanlah kata-kata Tuhan yang sedang marah atau menghardik. Sesungguhnya, Tuhan menyuruh mereka semua mungkin seluruh manusia, dan juga setan-setan serta para malaikat turun ke bumi, dan mengatakan bahwa sebagian dari mereka akan menjadi musuh bagi sebagian lainnya.

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 2:37).

Kami berfirman : “Turunlah kamu dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, Niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2 : 38).

Dua ayat di atas dituturkan secara simpatik. Pasangan Adam dan Hawa diusir dari surga untuk memulai kehidupan mereka di bumi. Kita harus beranggapan bahwa mereka pasti telah menyesali perbuatan yang baru saja mereka lakukan dan mencemaskan kehidupan mereka di sebuah tempat yang tidak familier. Tuhan mendekati mereka dengan ampunan dan kasih sayang. Dia menyakinkan mereka bahwa mereka akan selalu mendapat tuntunan Tuhan. Kita mendapati bahwa Tuhan telah mengampuni Adam dan Hawa, tetapi mengapa kemudian Dia tidak mengembalikan mereka ke surga?.

Coba bayangkan, misalnya adikku melakukan kesalahan dan aku memotong uang sakunya sebanyak lima ribu rupiah sebagai hukuman. Lantas, ia minta maaf kepadaku dan aku memaafkannya, tetapi aku tetap memotong uang sakunya sebanyak lima ribu rupiah. Ia pasti akan bereaksi, kakak bilang telah memaafkanku, tetapi mengapa masih menghukumku?. Sama halnya dengan Adam dan Hawa, bila Tuhan telah mengampuni mereka mengapa Dia (Tuhan) tetap menempatkan mereka di bumi?
Jawabannya muncul di kepalaku secepat timbulnya pertanyaan itu. Sebab kehidupan di bumi, menurut alquran bukanlah hukuman. Sejak awal dituturkannya kisah ini. Tuhan menegaskan bahwa keberadaan kita di bumi mempunyai tujuan yang lebih besar. Sejauh ingatanku kisah Adam dan Hawa dalam alquran seluruhnya koheren. Coba perhatikan bahwa alquran mengulang lagi kalimat “Turunlah kamu dari surga itu! Dalam ayat 38, tetapi kali ini disertai dengan kata-kata yang menekankan ampunan, hiburan, dan jaminan Tuhan kepada mereka. Seakan-akan alquran berbicara kepadaku dan semua orang, “Tuhan tidak menempatkanmu di bumi untuk menghukummu!!”.

Adapun orang-orang yang tidak beriman dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS 2: 39).

Mengapa alquran berkata demikian? Aku langsung merasa dongkol. Ketika aku sedang mengagumi pendekatannya yang cerdas, kitab ini bersiasat dengan kata-kata yang menakutkan. Kitab ini memukul bagian yang seharusnya tidak dipukul keluhku. Aku terus membaca ayat-ayat selanjutnya hanya karena ingin tahu, tanpa merasa terancam sedikitpun. Aku telah merasakan cukup banyak ancaman sepanjang hidupku dan ini membuatku semakin resisten dan kebal. Alquran mungkin dapat menakut-nakuti orang lain, tetapi aku tidak bisa ditakut-takuti. Aku akan terus memindai kitab suci ini, halaman demi halaman, ayat demi ayat dan baris demi baris.

Aku mula-mula merasa diserang oleh ayat tersebut, tetapi persinggunganku yang singkat dengan alquran telah mengajariku bahwa ketika sebuah ayat menyerangku, ia seringkali mengandung sebuah isyarat penting menyangkut sudut pandang Kitab Suci ini. Ketika mempelajari ayat ini secara teliti, aku lagi-lagi menemukan ungkapan yang mengusik hati. inilah sebuah retorika yang brilian karena Tuhan mengakhiri percakapan dengan pasangan manusia pertama dengan kata-kata yang menghibur dan menyejukkan, dan kemudian mengingatkan pembaca pada ayat berikutnya tanpa memutus alur berpikirnya.

Syahdan, kita dapat secara tegas mengatakan bahwa Tuhan Maha Esa benar-benar ada. Apakah orang-orang dengan sengaja menolak dan mengingkari ayat-ayatNya, ataukah mereka melakukannya lantaran ayat-ayat tersebut terlalu kabur? Apakah mereka secara sadar menolak apa yang mereka rasakan benar? Apakah pikiran mereka mengubah apa yang mereka rasakan benar? Apakah mereka secara sengaja dan bodoh mengingkari suara hati mereka? Tentu saja, mereka secara sengaja dan bodoh mengingkari suara hati mereka.


Sekian terima kasih
Semoga bermanfaat bagi yang membaca
Salam penulis,
Muhamad fuad al israry.