bismillahirrahmanirrahim
Aku sebelumnya tak
pernah menemukan bacaan yang luar biasa mengusikku selain surah al-baqarah ayat
30-39 ini. Aku tak pernah bisa berhenti memikirkan ayat-ayat tersebut. Aku
merenungkan mereka siang dan malam, saat makan, pergi dan pulang kerja, duduk
sendiri, menonton televisi atau berbaring di tempat tidur. Aku senantiasa
menimbang-nimbang mereka, merangkai mereka seperti menyusun banyak pertanyaan
menjadi sebuah teka-teki besar. Mereka menjadi batu ujian sebelum aku membaca
ayat-ayat alqur’an selanjutnya. Setiap kali aku menemui ayat yang tampak
berkaitan dengan perihal tujuan hidup, aku akan membandingkannya dengan ide-ide
dalam kisah penciptaan Adam dan Hawa. Aku secara perlahan-lahan merasa sedang
mengungkap sebagian banyak pertanyaan yang campur aduk sehingga seolah-olah isi
alqur’an sengaja ditulis untukku, tetapi aku tak dapat menyulam semua itu
menjadi sebuah penjelasan yang masuk akal tentang keberadaan manusia di dunia
ini.
Segeralah tampak jelas
di mataku bahwa alqur’an mempunyai agenda lain bahwa kitab suci ini mengandung
sebuah pesan dan padangan yang sama sekali berbeda. Alih-alih menuturkan
kembali kisah tradisionalnya. Alqur’an justru menjawab pertanyaan para malaikat
dengan pertama-tama memperlihatkan kemampuan akal manusia, pilihan moral dan
akhirnya bimbingan ilahi.
“Dan
Dia mengajarkan kepada Adam seluruh nama (benda-benda), kemudian
memperlihatkannya kepada para malaikat, dan Dia berfirman : “Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar” ( QS. 2 : 31).
Aku terpesona dengan
cara kitab suci alqur’an mewadahi banyak makna hanya dengan beberapa patah
kata. Coba perhatikan bahwa adam tidak sekedar menyebut nama benda-benda di sekitarnya, tetapi Tuhan mengajarinya,
yang berarti hal ini menegaskan kemampuan manusia untuk belajar, yakni
kecerdasannya. Perlihatkan pula apa yang Adam pelajari. Dia mempunyai kemampuan
untuk menyebutkan simbol-simbol verbal segala sesuatu yang diketahuinya,
seluruh pikiran, pengalaman dan perasaannya. Di antara semua karunia
intelektual manusia, kemampuan bahasa manusia-lah yang paling ditekankan
alqur’an. Jelaslah ini dikarenakan kemampuan bahasa adalah piranti intelektual
amat canggih yang membedakan manusia dari semua makhluk hidup lainnya di bumi.
Dengan kemampuan bahasa ini, lebih daripada kemampuan lain, manusia tumbuh,
berkembang dan belajar secara individual ataupun kolektif, sebab kemampuan
bahasa menjadi alat untuk belajar dan mengajari orang lain yang tidak sempat
bertatap muka (komunikasi langsung) dengan kita (lewat tulisan), termasuk orang-orang
yang secara ruang dan waktu sangat jauh dengan kita. Artinya seluruh manusia
dikaruniai dengan sebuah “sifat kumulatif” yang amat maju.
Selanjutnya, Allah
meletakkan benda-benda yang nama-nama mereka disebut oleh Adam di depan para
malaikat, dan berfirman, “sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu
memang benar”. Ini secara gamblang memperlihatkan bahwa akal manusia merupakan
argumen yang sangat penting mewakili jawaban Tuhan atas pertanyaan para
malaikat. Malaikat-malaikat bertanya mengapa Tuhan hendak menciptakan makhluk
yang kasar dan jahat dengan asumsi bahwa mereka lebih unggul, sebab mereka
tunduk sepenuhnya pada kehendak Tuhan, memuji dan menyucikanNya. Alqur’an
rupanya hendak menyatakan dalam ayat ini dan ayat-ayat berikutnya bahwa ada
sifat-sifat lain, misalkan akal, yang membuat manusia setidaknya berpotensi
lebih mulia daripada malaikat di hadapan Tuhan.
Mereka
berkata: “Mahasuci Engkau, tak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana” (QS 2 : 32).
Malaikat-malaikat
mengakui ketidakmampuan mereka untuk menjawab tantangan Allah. Mereka tidak
memiliki kelebihan akal untuk menciptakan simbol dan konsep bagi apa yang
mereka alami. Mereka mengatakan bahwa untuk menciptakan semua itu dibutuhkan
pengetahuan dan kearifan yang berada di luar batas kesanggupan mereka. Mereka
tahu Allah dapat dengan mudah melakukan semua ini sebab Dia “ Maha mengetahui
lagi Mahabijaksana, tetapi para malaikat tidak mempunyai kecakapan tersebut.
Allah
berfirman : Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini”. Maka
setelah diberitahukan kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman:
“Bukankah sudah Kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia
langit dan bumi, dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan?” (QS 2: 33).
Adam mampu menunjukkan
keunggulan akalnya, yang tidak dimiliki oleh para malaikat. Meskipun Adam tidak
mempunyai kearifan dan pengetahuan sebagaimana yang dimiliki Tuhan, dia
dikaruniai lebih banyak kelebihan daripada malaikat. Pertanyaan kepada para
malaikat tidak berhenti sampai disini, tetapi berlanjut : “Dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.”
Apa yang para malaikat
sembunyikan? Aku bertanya. Apa yang mereka lahirkan telah jelas. Mereka
keberatan dengan sifat destruktif dan jahat manusia, tetapi apa yang mereka
sembunyikan?. Aku tahu para malaikat keberatan karena hanya memerhatikan satu
sifat manusia, yaitu kemampuannya untuk membuat kerusakan dan kesalahan. Akan
tetapi, mereka tidak mengetahui, sebagaimana diriku, sifat lainnya.
Sesungguhnya, sebagian manusia dapat berbuat amat jahat, tetapi sebagian
lainnya dapat berbuat luar biasa baik. Sebagian diantara kita dapat berbuat
sangat destruktif, tetapi sebagian lainnya bisa memperlihatkan keramahan dan
kebaikan tiada terkira, dan kita semua tahu contoh-contoh penting dari dua
kecendrungan itu, acapkali, kecendrungan-kecendrungan tersebut muncul di atas
satu panggung drama kehidupan manusia yang sama, karena kemunculan kecendrungan
yang satu menimbulkan kecendrungan lainnya. Agaknya, kebaikan mengundang
sebagian orang untuk berbuat jahat dan kejahatan mengundang sebagian lainnya
untuk berbuat baik. Maka kita dapat melihat kebaikan dan kejahatan tumbuh dari
lingkungan dan tempat yang sama, bahkan kadang-kadang hidup berdampingan di
sebuah negara, kota atau desa.
Dan
(ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat : “Sujudlah kamu kepada
Adam”, mereka pun sujud kecuali iblis, ia menolak dan menyombongkan diri dan ia
termasuk golongan yang tidak beriman. (QS 2 : 34).
Apabila semula aku
meragukan kata-kata alquran bahwa
manusia berpeluang menjadi lebih mulia daripada para malaikat. Ayat tersebut di
atas telah menyingkirkan keraguan itu. Ketika Adam mampu memperlihatkan
kemampuan akalnya, dan para malaikat tidak mampu, Tuhan berfirman pada mereka,
“Sujudlah kamu kepada Adam”. Mereka pun sujud dan mengakui kelebihan Adam. Sujud
merupakan simbol ketundukan , dan Alquran menunjukkan bahwa para malaikat kelak
di kemudian hari akan melayani manusia di bumi. Akan tetapi iblis atau setan
menolak untuk sujud dan berangkat dari penolakan iblis atau setan ini. Alquran
mengisahkan awal-mula timbulnya dosa. Menurut alquran , akar timbulnya dosa
bukanlah uang, sifat rakus, atau nafsu birahi, tetapi kesombongan. Dengan
demikian alquran memperkenalkan satu aktor penting lain dalam drama kehidupan
manusia , dan melengkapi jawaban atas pertanyaan awal para malaikat tetapi
mengapa? Apa peran setan? Mengapa Tuhan menciptakan makhluk yang hanya memiliki
sebuah agenda yakni memalingkan manusia dari kebaikan? Hampir semua agama
menyatakan bahwa setan berperan sebagai penggoda, pembujuk bathin yang
membisikkan dorongan-dorongan jahat ke dalam hati kita. Jika malaikat berperan
sebagai sumber dorongan kebaikan, setan mendesak kita untuk berbuat dosa. Kita
memandang keduanya sebagai suara-suara yang saling bertolak belakang dalam hati
kita tatkala menghadapi sebuah dilema moral.
Benarkah demikian? Aku
bertanya. Benarkah alquran menyatakan bahwa selain memberi kita akal, Tuhan
juga menjadikan kita makhluk yang bermoral, yang mengerti benar dan salah?
Betulkah alquran menerangkan bahwa Tuhan menciptakan dorongan malaikat dan
godaan setan untuk menyempurnakan kesadaran moral kita? Benarkah alquran
menggarisbawahi fakta bahwa kita adalah makhluk yang dapat dan harus menentukan
pilihan-pilihan moral? Meskipun belum menangkap tujuan logis ayat ini, aku juga
tidak melihat pertentangan antara satu ayat dengan ayat lain.
Alquran kemudian
menjelaskan bahwa setan menggoda pasangan Adam dan Hawa dengan mengatakan bahwa
jika memakan buah tersebut (lebih lengkapnya di QS 2 : 35), “mereka akan meraih
kehidupan abadi dan kerajaan yang tidak akan pernah binasa”. Tetapi perkataan
lancung ini seluruhnya berasal dari setan. Tidak ada isyarat bahwa Tuhan merasa
khawatir kalau-kalau pasangan itu akan mengingkari-Nya. Dia sekedar memberitahu
bahwa andaikata mereka memakannya, berarti mereka telah melakukan dosa.
Kita pun tidak tahu
apakah itu merupakan larangan pertama Tuhan kepada Adam dan Hawa. Alquran tidak
menyebutkannya. Mungkin saja ada larangan-larangan lain yang sebelumnya telah
Tuhan sampaikan. Kita hanya tahu bahwa larangan ini merupakan yang pertama-tama
mereka langgar. Aku bertanya-tanya apakah peristiwa ini menyiratkan sebuah
makna yang amat penting, bahwa itulah pilihan bebas pertama Adam dan Hawa,
itulah kali pertama mereka memilih selain apa yang diperintahkan Tuhan.
Lalu
keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan
semula, dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi
yang lain dan di bumilah tempat tinggalmu dengan segala kesenangan hidup sampai
waktu yang ditentukan.” (QS 2: 36).
Aku merasa bahwa
pemilihan kata digelincirkan untuk menyebut dosa mereka sepenuhnya tepat. Hal
ini juga akan menjelaskan ketenangan penulis Alquran dalam menyampaikan pesan
itu. Alih-alih penulisnya mengatakan pada pasangan Adam dan Hawa bahwa mereka
akan sangat menderita di bumi, mereka sekedar diberitahu bahwa “ di bumilah
tempat tinggalmu dengan segala kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”
ini bukanlah kata-kata Tuhan yang sedang marah atau menghardik. Sesungguhnya,
Tuhan menyuruh mereka semua mungkin seluruh manusia, dan juga setan-setan serta
para malaikat turun ke bumi, dan mengatakan bahwa sebagian dari mereka akan
menjadi musuh bagi sebagian lainnya.
Kemudian
Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya.
Sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS 2:37).
Kami
berfirman : “Turunlah kamu dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku
kepadamu, barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, Niscaya tidak ada
kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS 2 : 38).
Dua ayat di atas
dituturkan secara simpatik. Pasangan Adam dan Hawa diusir dari surga untuk
memulai kehidupan mereka di bumi. Kita harus beranggapan bahwa mereka pasti
telah menyesali perbuatan yang baru saja mereka lakukan dan mencemaskan
kehidupan mereka di sebuah tempat yang tidak familier. Tuhan mendekati mereka
dengan ampunan dan kasih sayang. Dia menyakinkan mereka bahwa mereka akan
selalu mendapat tuntunan Tuhan. Kita mendapati bahwa Tuhan telah mengampuni
Adam dan Hawa, tetapi mengapa kemudian Dia tidak mengembalikan mereka ke
surga?.
Coba bayangkan,
misalnya adikku melakukan kesalahan dan aku memotong uang sakunya sebanyak lima
ribu rupiah sebagai hukuman. Lantas, ia minta maaf kepadaku dan aku
memaafkannya, tetapi aku tetap memotong uang sakunya sebanyak lima ribu rupiah.
Ia pasti akan bereaksi, kakak bilang telah memaafkanku, tetapi mengapa masih
menghukumku?. Sama halnya dengan Adam dan Hawa, bila Tuhan telah mengampuni
mereka mengapa Dia (Tuhan) tetap menempatkan mereka di bumi?
Jawabannya muncul di
kepalaku secepat timbulnya pertanyaan itu. Sebab kehidupan di bumi, menurut
alquran bukanlah hukuman. Sejak awal dituturkannya kisah ini. Tuhan menegaskan
bahwa keberadaan kita di bumi mempunyai tujuan yang lebih besar. Sejauh
ingatanku kisah Adam dan Hawa dalam alquran seluruhnya koheren. Coba perhatikan
bahwa alquran mengulang lagi kalimat “Turunlah kamu dari surga itu! Dalam ayat
38, tetapi kali ini disertai dengan kata-kata yang menekankan ampunan, hiburan,
dan jaminan Tuhan kepada mereka. Seakan-akan alquran berbicara kepadaku dan
semua orang, “Tuhan tidak menempatkanmu di bumi untuk menghukummu!!”.
Adapun
orang-orang yang tidak beriman dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka adalah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS 2: 39).
Mengapa alquran berkata
demikian? Aku langsung merasa dongkol. Ketika aku sedang mengagumi
pendekatannya yang cerdas, kitab ini bersiasat dengan kata-kata yang
menakutkan. Kitab ini memukul bagian yang seharusnya tidak dipukul keluhku. Aku
terus membaca ayat-ayat selanjutnya hanya karena ingin tahu, tanpa merasa
terancam sedikitpun. Aku telah merasakan cukup banyak ancaman sepanjang hidupku
dan ini membuatku semakin resisten dan kebal. Alquran mungkin dapat
menakut-nakuti orang lain, tetapi aku tidak bisa ditakut-takuti. Aku akan terus
memindai kitab suci ini, halaman demi halaman, ayat demi ayat dan baris demi
baris.
Aku mula-mula merasa
diserang oleh ayat tersebut, tetapi persinggunganku yang singkat dengan alquran
telah mengajariku bahwa ketika sebuah ayat menyerangku, ia seringkali
mengandung sebuah isyarat penting menyangkut sudut pandang Kitab Suci ini.
Ketika mempelajari ayat ini secara teliti, aku lagi-lagi menemukan ungkapan
yang mengusik hati. inilah sebuah retorika yang brilian karena Tuhan mengakhiri
percakapan dengan pasangan manusia pertama dengan kata-kata yang menghibur dan
menyejukkan, dan kemudian mengingatkan pembaca pada ayat berikutnya tanpa
memutus alur berpikirnya.
Syahdan, kita dapat
secara tegas mengatakan bahwa Tuhan Maha Esa benar-benar ada. Apakah
orang-orang dengan sengaja menolak dan mengingkari ayat-ayatNya, ataukah mereka
melakukannya lantaran ayat-ayat tersebut terlalu kabur? Apakah mereka secara
sadar menolak apa yang mereka rasakan benar? Apakah pikiran mereka mengubah apa
yang mereka rasakan benar? Apakah mereka secara sengaja dan bodoh mengingkari
suara hati mereka? Tentu saja, mereka secara sengaja dan bodoh mengingkari
suara hati mereka.
Sekian terima kasih
Semoga bermanfaat bagi
yang membaca
Salam penulis,
Muhamad fuad al israry.